Sekilas Tentang Wagashi

Inilah Penjelasan Sekilas Tentang Wagashi

Inilah Penjelasan Sekilas Tentang Wagashi – Istilah Wagashi mencakup semua makanan penutup Jepang, dari hidangan upacara minum teh hingga makanan penutup sehari-hari. Anda mungkin pernah melihatnya ditampilkan dalam film atau drama Jepang, seperti Dango (団 子 bola mochi tusuk), Dorayaki (ど ら 焼 き pancake mini mengapit isian manis), atau Sakura Mochi (桜 餅 mochi merah muda bunga sakura dengan pasta kacang merah di dalamnya).

Dibandingkan dengan makanan penutup Eropa, yang ditandai dengan melimpahnya mentega dan telur, Wagashi tradisional membutuhkan sedikit minyak, rempah-rempah, dan produk susu. Bahan utamanya adalah biji-bijian seperti gandum atau beras, pati dari kacang-kacangan seperti kacang merah dan kedelai, serta gula pasir. sbowin

Wagashi hadir dalam berbagai bentuk dan ukuran, tetapi sebagian besar cukup kecil untuk dimakan dalam dua atau tiga suapan.

Wagashi dan Upacara Minum Teh Jepang

Bagaimana wagashi berhubungan dengan upacara minum teh Jepang? Dalam konteks upacara minum teh Jepang (茶道), Wagashi disajikan untuk menemani dan melengkapi rasa pahit Matcha (抹茶 Teh hijau Jepang yang terbuat dari bubuk daun teh hijau muda). Wagashi selalu dikonsumsi sebelum Matcha disajikan, dan tidak pernah bersama-sama.

Apresiasi yang dalam terhadap musim tercermin dari estetika Wagashi. Misalnya, Anda mungkin melihat bunga plum dan motif bunga sakura di musim semi, daun bambu hijau muda dan kembang api di musim panas, dedaunan musim gugur, dan bulan panen di musim gugur, dan salju di musim dingin.

Namun, Wagashi tidak terbatas pada upacara minum teh; itu bisa dimakan seperti makanan penutup lainnya untuk siang hari, teh sore atau makanan penutup setelah makan. Anda tidak perlu mengeluarkan kocokan dan mangkuk matcha; Anda bisa memasangkannya dengan teh hijau jenis lain, teh non-hijau, kopi, atau apapun yang Anda suka!

Sejarah Wagashi

Seperti yang dinyatakan di atas, sejarah Wagashi dan upacara minum teh Jepang (茶道) sangat terkait erat. Tidak mungkin memisahkan keduanya saat mendekati asal masing-masing.

Artefak kuno telah menunjukkan bahwa orang Jepang telah mendambakan rasa manis, kembali ke periode Yayoi (300 SM-300 A.C.) di mana orang-orang memakan rasa manis alami yang ditemukan dalam buah-buahan dan kacang-kacangan.

Perdagangan dengan Dinasti Sui dan Tang selama periode Asuka (538-710) membawa kembali berbagai jenis manisan Tiongkok. Salah satu yang disebut Kara-kudamono (唐 果物), sejenis mochi goreng yang terbuat dari beras, gandum, dan kedelai, dikatakan sebagai asal muasal Wagashi. Namun, makanan lezat ini disajikan di Istana Kekaisaran dan dewa agama, dan tidak diedarkan di kalangan rakyat jelata. Gula adalah barang impor mewah yang langka, dan penggunaan utamanya adalah untuk obat-obatan.

Teh diperkenalkan dari Tiongkok sekitar periode Kamakura (1185-1333) dan kebiasaan minum teh oleh biksu Zen didirikan sekitar waktu ini. Sebagai bagian dari ritual, makanan sederhana yang disebut Tenshin (点心 dim sum) dan makanan ringan disajikan. Karena gula masih sulit didapat, zat manis dibuat dari getah tanaman anggur (甘 葛). Makanan yang disajikan dengan upacara minum teh (茶 席) menjadi lebih rumit selama periode Muromachi (1336-1573), saat Zen terhubung dengan kelas Samurai atas.

Ketersediaan gula menjadi lebih luas karena para pedagang Portugis yang memperkenalkan budaya dan masakan baru ke Jepang. Bangsawan Jepang haus akan hidangan Portugis, dan mereka mengadaptasinya menjadi apa yang disebut Nanbangshi (南蛮 菓子). Makanan penutup eksotis yang mengandung gula dan telur seperti Castella (カ ス テ ラ) dan Kompeito (金 平 糖) (dari penganan Portugis ‘Comfit’) hanya untuk kaum bangsawan.

Sekilas Tentang Wagashi

Perkembangan Wagashi di Jepang

Permintaan dan produksi Wagashi meledak selama periode Edo (1603-1867), karena komersialisasi yang meluas di seluruh negeri dan peningkatan produktivitas pertanian yang signifikan. Tebu dari Okinawa dan Shikoku, dan gula putih olahan tersedia di ibu kota (Edo) dan Kyoto. Hal ini mendorong perkembangan toko khusus Wagashi baru. Sejalan dengan itu, budaya upacara minum teh juga berkembang pesat, di mana sajian manisan yang nikmat menjadi salah satu aspek terpenting dari upacara tersebut.

Dengan persaingan ketat di antara pembuat manisan Wagashi untuk memenuhi permintaan pelanggan yang lapar, gaya berbeda dengan desain rumit menjadi populer. Wagashi bergaya Kyoto yang disebut Kyo-gashi (京 菓子) adalah karya seni indah yang bisa dimakan untuk upacara minum teh, sedangkan kelas menengah Edo (Tokyo) menginginkan Jyo-gashi (上 菓子) yang lebih sederhana dan mudah didekati.

Istilah Wagashi lahir pada era Meiji (1868-1912), pada era modernisasi dan westernisasi yang pesat. Seperti bagaimana Washoku (和 食) adalah istilah untuk membedakan budaya makanan asing, Wagashi – wa (和 Jepang) dan kashi / gashi (菓子 permen) – lahir.

Read more